MENYOAL SAKSI RUKYAT HILAL
Berawal dari kejadian ditolaknya klaim saksi rukyat hilal dari kawasan
Cakung, Jakarta Timur (Pondok Pesantren Al Husainiah) yang menyatakan
melihat hilal dalam sidang itsbat awal bulan Ramadhan yang dipimpin oleh
Menteri Agama bersama perwakilan ormas-ormas Islam tanggal 19 Juli yang lalu,1) beberapa kalangan yang pro dengan klaim
rukyat hilal Cakung tersebut kemudian mempertanyakan mengapa kesaksian mereka
ditolak oleh sidang itsbat. Bukankah yang mengaku melihat hilal berjumlah empat
orang,
yang berarti sudah lebih dari cukup, karena jumlah saksi minimal dalam hukum umumnya adalah dua orang. Bahkan Nabi SAW menerima kesaksian seorang saksi dan memerintahkan buat puasa Ramadhan, dan dua orang saksi untuk hari raya idul fitri.2) Mereka juga menanyakan, mengapa saksi rukyat hilal harus ditanyai berbagai pertanyaan mengenai hilal terlebih dahulu sebelum disahkan kesaksiannya. Bukankah dahulu Nabi hanya menanyakan satu soal saja kepada saksi rukyat hilal (Arab Badui yang belum beliau kenal) mengenai keislamannya? Bahkan jika yang bersaksi itu sahabat yang telah dikenal baik oleh Nabi, seperti Ibnu Umar, Nabi SAW tidak menanyainya lagi dan langsung memerintahkan orang untuk berpuasa.3)
yang berarti sudah lebih dari cukup, karena jumlah saksi minimal dalam hukum umumnya adalah dua orang. Bahkan Nabi SAW menerima kesaksian seorang saksi dan memerintahkan buat puasa Ramadhan, dan dua orang saksi untuk hari raya idul fitri.2) Mereka juga menanyakan, mengapa saksi rukyat hilal harus ditanyai berbagai pertanyaan mengenai hilal terlebih dahulu sebelum disahkan kesaksiannya. Bukankah dahulu Nabi hanya menanyakan satu soal saja kepada saksi rukyat hilal (Arab Badui yang belum beliau kenal) mengenai keislamannya? Bahkan jika yang bersaksi itu sahabat yang telah dikenal baik oleh Nabi, seperti Ibnu Umar, Nabi SAW tidak menanyainya lagi dan langsung memerintahkan orang untuk berpuasa.3)
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk menjawab persoalan mengapa klaim saksi rukyat hilal
di Cakung ditolak kesaksiannya oleh pemerintah dalam sidang itsbat awal
Ramadhan, karena hal ini telah dibahas dan ditanggapi dalam sidang itsbat
tersebut oleh Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlotul Ulama, KH. Ahmad Gozali dengan
empat argumentasi penolakan yang cukup telak, dan analisis para ahli
falak/astronomi pun telah muncul di berbagai media.4) Penulis hanya mencoba mencari perbandingan kondisi
antara peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi SAW dengan zaman sekarang, untuk
mencari jawaban apakah menanyakan kepada saksi dengan beberapa pertanyaan
seputar hilal yang dilihat, seperti yang dilakukan selama ini oleh para hakim
Pengadilan Agama sekarang sebelum mengitsbatkan /menetapkan keterangan saksi
itu dapat dibenarkan atau tidak.
1.
Kondisi alam
Kondisi
alam di sekitar Mekah dan Madinah pada 1400 tahun yang lalu adalah padang pasir
dengan pegunungan batu yang masih sangat alami. Jelas belum ada berbagai macam
cahaya lampu, tidak ada pula bangunan-bangunan pencakar langit seperti
sekarang. Keadaan langit di sekitar Mekah dan Madinah seringkali cerah dan
bersih dari awan (apalagi mendung).
Kondisi
zaman sekarang dunia sudah gemerlap dengan cahaya lampu jelas besar sekali
pengaruhnya. Apalagi pada saat matahari terbenam, sinarnya masih sangat kuat,
sedangkan warna hilal muda yang masih tipis sangat mirip (tidak kontras) dengan latar belakang panorama senja. Lampu-lampu kota, kapal, mercusuar dan lain
sebagainya sangat berpengaruh terhadap penglihatan manusia biasa yang
mengandalkan mata telanjang.
Indonesia
yang merupakan daerah kepulauan banyak terjadi penguapan air laut yang
membentuk awan. Seringkali cuaca cerah namun di ufuk barat tertutup awan, yang
tentu saja akan mempengaruhi penampakan hilal.
Dari
kondisi yang seringkali menyulitkan mata bisa untuk melihat hilal tanggal satu
yang demikian tipisnya, maka tidak salah apabila pemerintah atas dasar
kehati-hatian membuat aturan teknis, bahwa saksi yang mengklaim melihat hilal
terlebih dahulu harus ditanya sekedar untuk ferivikasi, apakah yang dilihatnya itu
benar-benar hilal atau bukan. Misalnya
jika cuaca secara umum mendung (seperti keadaan cuaca tangga 19 Juli 2012 lalu),
lantas orang mengaku melihat hilal, sangat perlu untuk ditanya bagaimana
keadaan langit pada saat itu, dimana dia melihat, apakah ia melihat dengan mata
telanjang atau dengan alat, berapa ketinggian hilal, berapa menit dia melihat,
bagaimana bentuknya, dan sebagainya, agar tidak terjadi kekeliruan dalam
menetapkan tanggal satu Ramadhan atau Syawal.
2.
Orang Arab Badui pada zaman Nabi adalah orang pedesaan
di pegunungan yang hidup nomaden dan masih sangat tergantung pada alam,
sehingga mereka sangat bisa dan biasa memperhatikan tanda-tanda alam, termasuk
bintang, bulan dan matahari. Demikian pula para sahabat Nabi, adalah orang yang
biasa menghitung waktu dengan jalan memperhatikan tanda-tanda alam. Menentukan
awal waktu shalat pun hanya dengan memperhatikan bayangan benda yang terkena
sinar matahari. Bahkan menurut sebuah riwayat, IbnuUmar pernah menolak sahabat
yang akan bermalam di rumahnya jika orang itu tidak mengetahui manzilah-manzilah
bulan5).
Sementara
masyarakat kita di masa sekarang sudah sangat kecil ketergantungan dan
perhatiannya dengan tanda-tanda alam. Kalaupun ada yang memperhatikan, paling
sekedarnya karena terkait dengan kepentingan praktis pertanian misalnya, yang hanya
terkait dengan musim, tidak terkait dengan
awal atau akhir bulan. Dalam menentukan awal waktu shalat saja, orang
sekarang banyak sudah menggunakan jam, dan tidak lagi mengukur panjang
bayang-bayang matahari yang mengenai benda. Dengan kata lain, orang Badui dan
para sahabat Nabi adalah “ahli alam”, sedangkan orang sekarang yang ikut
melakukan rukyat kebanyakan adalah orang-orang yang tidak terlatih/bukan ahli.
Kalau kita
membaca kitab fikih, para ulama mensyaratkan saksi itu selain beragama Islam,
dia juga harus adil 6), artinya jujur dan tidak mempunyai tendensi
apapun dan kemanapun. Kita boleh berasumsi, bahwa setiap orang Islam mempunyai
sifat adil, namun setiap orang Islam tidaklah makshum (terbebas dari
kesalahan).
Penulis sangat setuju jika pemerintah (kementerian
agama) dan ormas-ormas Islam mengadakan pelatihan hisab rukyat secara terpadu
dan menugaskan kader-kadernya untuk melakukan rukyat hilal dengan panduan ilmu
hisab, serta hanya menerima dan mengesahkan klaim perukyat yang telah
bersertifikat agar mengurangi potensi kekacauan/pertentangan. Fakta yang
terjadi pada tahun-tahun lalu kiranya dapat dijadikan sebagai pelajaran, bahwa
membiarkan semua orang (tanpa syarat) melakukan rukyat hilal dan melaporkan
telah melihat hilal pada saat ilmu pengetahuan modern (baca: ilmu
astronomi/hisab kontemporer) memustahilkan nampaknya hilal, bisa menimbulkan
kekacauan dan kebingungnan pada masyarakat umumnya. Bahkan terkadang klaim yang
“absurd” tersebut dipakai untuk “mendukung” hisab wujudul hilal 7).
3.
Perkembangan Ilmu pengetahuan
Pada masa
Nabi SAW umat Islam Islam sudah biasa memperhatikan manzilah bulan dan matahari
untuk kepentingan praktis waktu ibadah akan tetapi belum mengenal ilmu hisab.
Nabi sendiri dalam sabdanya mengatakan,“Kami umat yang ummi, kami tidak tahu
menulis dan berhitung. Umur bulan itu kadang 29 kadang 30 hari”. (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasai).8)
Oleh karena
itu, kepada masyarakat Islam yang baru membangun peradaban dan masih sederhana
tersebut, Nabi menganjurkan metode sederhana yang amat praktis yang sudah biasa
dilakukan oleh umatnya saat itu, yaitu rukyat. Jika para sahabat melihat hilal,
maka keesokan harinya ditetapkan sebagai bulan baru, dan bila tidak ada yang
melaporkan melihat hilal, maka umur bulan digenapkan menjadi 30 hari. Sabdanya dalam sebuah hadits shahih yang
sudah terkenal, “Berpuasalah karena telah melihat hilal dan berhari
rayalah jika telah melihat hilal. Apabila kalian tidak bisa melihatnya karena
terhalang awan, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban itu menjadi 30 hari”.
(HR. Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Hibban). 9)
Perkembangan
dan capaian ilmu pengetahuan, terutama astronomi di masa sekarang sudah
demikian pesat dan akuratnya, bahkan ketepatan hitungan dengan komputasi yang
telah diobservasi berulangkali selama bertahun-tahun sehingga ketepatannya bisa
mencapai hitungan detik. Saat terbenamnya matahari, bulan, bahkan kapan
terjadinya gerhana matahari dan bulan telah bisa diprediksi sebelumnya.
Karenanya setiap klaim rukyat sangat bisa diteliti dan dicocokkan apakah sesuai
dengan ilmu pengetahuan atau tidak. Karena akurasinya, ada ulama ahli hisab yang
berpendapat, bahwa zaman sekarang ilmu hisablah yang qath’iy (pasti),
sedangkan apa yang disampaikan saksi rukyat menjadi khabar zhanniy (dugaan)
10), karena klaim rukyat seringkali keliru atau setidaknya
bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Apabila terjadi klaim rukyat padahal saat itu di
tempat rukyat matahari belum terbenam (seperti kasus klaim rukyat Cakung akhir
Syakban yang lalu) 11), sudah pasti klaimnya adalah hal yang
bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Sangat bisa terjadi yang mereka lihat
adalah bayangan sinar matahari pada awan. Satu hal yang naïf apabila kualitas
rukyat yang tidak valid seperti itu dijadikan sebagai dasar untuk memulai puasa
Ramadhan.
Memang saat ini
tidak ada aturan yang membatasi hak azasi orang untuk melakukan rukyatul hilal.
Akan tetapi jika asal orang mengaku melihat hilal laporannya diterima tanpa
klarifikasi berdasarkan ilmu pengetahuan, pasti akan menimbulkan kekacauan,
karena bisa saja orang melaporkan melihat hilal padahal masih tanggal 27 atau
28, atau mengaku melihat hilal pada waktu subuh, melihat hilal di ufuk timur,
dan lain sebagainya. Apalagi jika yang mengklaim melihat hilal itu telah
menghitung berdasarkan kitab falak klasik (Sullamun Nayirain) yang masih sangat
sederhana dan kasar hitungannya 12) lalu berobsesi besar untuk dapat
melihat hilal, sangat mungkin akan terbawa dengan obsesinya yang keliru.
Dengan demikian,
menanyakan kepada saksi beberapa hal mengenai apa yang telah dilihatnya hanya bertujuan
untuk memastikan, apakah yang dilihat oleh saksi itu hilal atau bukan, agar
tidak terjadi kekeliruan “ulul amri” dalam menetapkan kapan terjadinya
awal bulan sama sekali tidak melanggar atau bertentangan dengan apa yang telah
dilakukan oleh Rasulullah SAW karena kondisi zaman dan umatnya memang telah
berbeda. Dan semestinya hanya pemerintahlah satu-satunya yang mempunyai
kewenangan untuk menetapkan tanggal satu Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, bukan ormas, apalagi orang
perorang. Kaidah fiqhiyah menyatakan
:
حكم الحاكم الزام ويرفع الخلاف
“ketetapan hakim(pemerintah)
bersifat mengikat (harus ditaati) dan menghilangkan perbedaan”.
Wallahu a’lam.
CATATAN
1) Ditolaknya
klaim rukyat Cakung bukan baru tahun 2012 ini saja, Menurut penelitian Mutoha
Arkanudin dari RHI, sepanjang 23 tahun
(1408-1432), klaim rukyat Cakung sebanyak 5 kali ditolak dalam forum siding
itsbat awal bulan, dan 9 kali diterima. Namun yang diterima ini disertai
catatan, bahwa klaim tersebut bertentangan dengan sains. (http://rukyatulhilal.org/artikel/23-tahun-isbat-indonesia.htmlhttp://rukyatulhilal.org/artikel/23-tahun-isbat-indonesia.html )
2) Maktabah
Syamilah, Kitab Fiqhussunnah juz I hal.435.
3) عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالَ إِنِّى رَأَيْتُ الْهِلاَلَ - قَالَ الْحَسَنُ فِى حَدِيثِهِ يَعْنِى
رَمَضَانَ - فَقَالَ « أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ». قَالَ نَعَمْ.
قَالَ « أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ «
يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا ».
4) Antara lain: http://www.kafeastronomi.com/cerita-rukyat-cakung-hikayat-anak-bulan-di-kaki-langit-bagian-1.html.
5) Makalah seminar hisab rukyat
6) Maktabah Syamilah, op.cit
7) Hisab wujudul hilal menganut prinsip, apabila ijtima’/konjungsi terjadi
sebelum ghurub/matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam itu hilal
terbenam setelah matahari, maka hilal dianggap sudah wujud/sudah masuk bulan
baru tanpa mempersoalkan berapa ketinggian hilal. Semestinya mereka mencukupkan
dengan hasil hisab saja tanpa perlu hasil rukyat. Akan tetapi klaim rukyat
yang terjadi tanggal 19 Juli yang lalu, demikian pula tahun-tahun lalu,
seringkali dipakai debagai dalil pembenar prinsip wujudul hilal oleh
orang-orang (termasuk tokoh panutan) yang tak paham ilmu hisab.
8) إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا
وهكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين (البخارى ، ومسلم ، وأبو داود ،
والنسائى عن ابن عمر)
Hadits
ini bukan berarti umat Islam dari zaman Nabi Muhammmad SAW sampai dengan
sekarang harus tetap dalam kondisi ummi.
Pemahaman demikian sangat tidak berdasar dan tentu saja bertentangan
dengan hadit-hadits lain yang mewajibkan umat Islam menuntut ilmu dan menggapai
kemajuan/kejayaan dunia-akhirat. Hadits
di atas hanya menggambarkan kondisi riil yang dialami oleh umat Islam pada saat
itu yang masih belum mengetahui baca-tulis maupun ilmu hisab, sehingga Nabipun
mengambil metode penetapan awal bulan yang sudah dikenal umat saat itu, yaitu
rukyat.
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا
شعبان ثلاثين (البخارى، ومسلم ،9) والنسائى ، وابن حبان عن أبى هريرة .
atau menurut versi riwayat lain Nabi juga mengatakan:
الشهر هكذا وهكذا وهكذا وعقد
إبهامه فى الثالثة صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمى عليكم فاقدروا ثلاثين
(مسلم ، والنسائى عن ابن عمر)
10) Antara lain Imam Taqiyyuddin As-Subkiy dalam kitab
Fatawanya (juz I hal.219-220)
11) Perukyat dari Cakung, saat reporter TV One menanyakan
kepada salah seorang saksi yang mengaku melihat hilal pada hari itu
(18/7/2012), mengapa mereka hanya memakai mata kepala, tanpa menggunakan
teropong ketika melakukan rukyat, sedangkan alat itu ada, maka jawabnya,
“karena teropong hanya untuk obyek yang tingginya di atas lima derajat, dan
teropong itu hanya fokus pada satu titik sedangkan mata bisa bebas mencari
hilal.” Sebuah jawaban yang menggambarkan awamnya mereka tentang hisab
rukyat dan alat-alat teknologi yang seharusnya memberi manfaat lebih kepada mereka.
Hilal itu
adalah sesuatu yang eksakta, maka jika satu orang mengaku bisa melihat, pasti
orang lain bisa melihat pula, apalagi bila melihatnya dengan alat bantu optic
(semisal teropong) yang kemampuannya jauh melebihi mata biasa.
12) Dari kelompok kitab falak klasik yang menggunakan hisab taqriby, hasil
perhitungan kitab Sullamun Nayirain selalu paling besar perbedaannya.
Rankingnya berada pada urutan paling bawah. Dalam perhitungan saat terjadinya
ijtimak perbedaannya sering sangat mencolok, sampai berpuluh menit, bahkan
sampai berjam-jam. Demikian pula pada posisi hilal perbedaannya paling
mencolok. (Almanak Hisab Rukyat, Depag.RI, hal.159).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.