Translate

Rabu, 15 Agustus 2012


MENYOAL SAKSI RUKYAT HILAL


Berawal dari kejadian ditolaknya klaim saksi rukyat hilal dari kawasan Cakung, Jakarta Timur (Pondok Pesantren Al Husainiah) yang menyatakan melihat hilal dalam sidang itsbat awal bulan Ramadhan yang dipimpin oleh Menteri Agama bersama perwakilan ormas-ormas Islam tanggal 19 Juli yang lalu,1)  beberapa kalangan yang pro dengan klaim rukyat hilal Cakung tersebut kemudian mempertanyakan mengapa kesaksian mereka ditolak oleh sidang itsbat. Bukankah yang mengaku melihat hilal berjumlah empat orang,
yang berarti sudah lebih dari cukup, karena jumlah saksi minimal dalam hukum umumnya adalah dua orang. Bahkan Nabi SAW menerima kesaksian seorang saksi dan memerintahkan buat puasa Ramadhan, dan dua orang saksi untuk hari raya idul fitri.2)  Mereka juga menanyakan, mengapa saksi rukyat hilal harus ditanyai berbagai pertanyaan mengenai hilal terlebih dahulu sebelum disahkan kesaksiannya.  Bukankah dahulu Nabi hanya menanyakan satu soal saja kepada saksi rukyat hilal (Arab Badui yang belum beliau kenal) mengenai keislamannya?  Bahkan jika yang bersaksi itu sahabat yang telah dikenal baik oleh Nabi, seperti Ibnu Umar, Nabi SAW tidak menanyainya lagi dan langsung memerintahkan orang untuk berpuasa.3)
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjawab persoalan mengapa klaim saksi rukyat hilal di Cakung ditolak kesaksiannya oleh pemerintah dalam sidang itsbat awal Ramadhan, karena hal ini telah dibahas dan ditanggapi dalam sidang itsbat tersebut oleh Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlotul Ulama, KH. Ahmad Gozali dengan empat argumentasi penolakan yang cukup telak, dan analisis para ahli falak/astronomi pun telah muncul di berbagai media.4)  Penulis hanya mencoba mencari perbandingan kondisi antara peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi SAW dengan zaman sekarang, untuk mencari jawaban apakah menanyakan kepada saksi dengan beberapa pertanyaan seputar hilal yang dilihat, seperti yang dilakukan selama ini oleh para hakim Pengadilan Agama sekarang sebelum mengitsbatkan /menetapkan keterangan saksi itu dapat dibenarkan  atau tidak.
1.      Kondisi alam
Kondisi alam di sekitar Mekah dan Madinah pada 1400 tahun yang lalu adalah padang pasir dengan pegunungan batu yang masih sangat alami. Jelas belum ada berbagai macam cahaya lampu, tidak ada pula bangunan-bangunan pencakar langit seperti sekarang. Keadaan langit di sekitar Mekah dan Madinah seringkali cerah dan bersih dari awan (apalagi mendung).
Kondisi zaman sekarang dunia sudah gemerlap dengan cahaya lampu jelas besar sekali pengaruhnya. Apalagi pada saat matahari terbenam, sinarnya masih sangat kuat, sedangkan warna hilal muda yang masih tipis sangat mirip (tidak kontras) dengan  latar belakang panorama senja.  Lampu-lampu kota, kapal, mercusuar dan lain sebagainya sangat berpengaruh terhadap penglihatan manusia biasa yang mengandalkan mata telanjang.
Indonesia yang merupakan daerah kepulauan banyak terjadi penguapan air laut yang membentuk awan. Seringkali cuaca cerah namun di ufuk barat tertutup awan, yang tentu saja akan mempengaruhi penampakan hilal.
Dari kondisi yang seringkali menyulitkan mata bisa untuk melihat hilal tanggal satu yang demikian tipisnya, maka tidak salah apabila pemerintah atas dasar kehati-hatian membuat aturan teknis, bahwa saksi yang mengklaim melihat hilal terlebih dahulu harus ditanya sekedar untuk  ferivikasi, apakah yang dilihatnya itu benar-benar hilal atau bukan.  Misalnya jika cuaca secara umum mendung (seperti keadaan cuaca tangga 19 Juli 2012 lalu), lantas orang mengaku melihat hilal, sangat perlu untuk ditanya bagaimana keadaan langit pada saat itu, dimana dia melihat, apakah ia melihat dengan mata telanjang atau dengan alat, berapa ketinggian hilal, berapa menit dia melihat, bagaimana bentuknya, dan sebagainya, agar tidak terjadi kekeliruan dalam menetapkan tanggal satu Ramadhan atau Syawal.
2.      Orang Arab Badui pada zaman Nabi adalah orang pedesaan di pegunungan yang hidup nomaden dan masih sangat tergantung pada alam, sehingga mereka sangat bisa dan biasa memperhatikan tanda-tanda alam, termasuk bintang, bulan dan matahari. Demikian pula para sahabat Nabi, adalah orang yang biasa menghitung waktu dengan jalan memperhatikan tanda-tanda alam. Menentukan awal waktu shalat pun hanya dengan memperhatikan bayangan benda yang terkena sinar matahari. Bahkan menurut sebuah riwayat, IbnuUmar pernah menolak sahabat yang akan bermalam di rumahnya jika orang itu tidak mengetahui manzilah-manzilah bulan5).
Sementara masyarakat kita di masa sekarang sudah sangat kecil ketergantungan dan perhatiannya dengan tanda-tanda alam. Kalaupun ada yang memperhatikan, paling sekedarnya karena terkait dengan kepentingan praktis pertanian misalnya, yang hanya terkait dengan musim, tidak terkait dengan  awal atau akhir bulan. Dalam menentukan awal waktu shalat saja, orang sekarang banyak sudah menggunakan jam, dan tidak lagi mengukur panjang bayang-bayang matahari yang mengenai benda. Dengan kata lain, orang Badui dan para sahabat Nabi adalah “ahli alam”, sedangkan orang sekarang yang ikut melakukan rukyat kebanyakan adalah orang-orang yang tidak terlatih/bukan ahli.
Kalau kita membaca kitab fikih, para ulama mensyaratkan saksi itu selain beragama Islam, dia juga harus adil 6), artinya jujur dan tidak mempunyai tendensi apapun dan kemanapun. Kita boleh berasumsi, bahwa setiap orang Islam mempunyai sifat adil, namun setiap orang Islam tidaklah makshum (terbebas dari kesalahan).  
Penulis  sangat setuju jika pemerintah (kementerian agama) dan ormas-ormas Islam mengadakan pelatihan hisab rukyat secara terpadu dan menugaskan kader-kadernya untuk melakukan rukyat hilal dengan panduan ilmu hisab, serta hanya menerima dan mengesahkan klaim perukyat yang telah bersertifikat agar mengurangi potensi kekacauan/pertentangan. Fakta yang terjadi pada tahun-tahun lalu kiranya dapat dijadikan sebagai pelajaran, bahwa membiarkan semua orang (tanpa syarat) melakukan rukyat hilal dan melaporkan telah melihat hilal pada saat ilmu pengetahuan modern (baca: ilmu astronomi/hisab kontemporer) memustahilkan nampaknya hilal, bisa menimbulkan kekacauan dan kebingungnan pada masyarakat umumnya. Bahkan terkadang klaim yang “absurd” tersebut dipakai untuk “mendukung” hisab wujudul hilal 7).
3.      Perkembangan Ilmu pengetahuan
Pada masa Nabi SAW umat Islam Islam sudah biasa memperhatikan manzilah bulan dan matahari untuk kepentingan praktis waktu ibadah akan tetapi belum mengenal ilmu hisab. Nabi sendiri dalam sabdanya mengatakan,“Kami umat yang ummi, kami tidak tahu menulis dan berhitung. Umur bulan itu kadang 29 kadang 30 hari”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasai).8)
Oleh karena itu, kepada masyarakat Islam yang baru membangun peradaban dan masih sederhana tersebut, Nabi menganjurkan metode sederhana yang amat praktis yang sudah biasa dilakukan oleh umatnya saat itu, yaitu rukyat. Jika para sahabat melihat hilal, maka keesokan harinya ditetapkan sebagai bulan baru, dan bila tidak ada yang melaporkan melihat hilal, maka umur bulan digenapkan menjadi 30 hari.  Sabdanya dalam sebuah hadits shahih yang sudah terkenal, Berpuasalah karena telah melihat hilal dan berhari rayalah jika telah melihat hilal. Apabila kalian tidak bisa melihatnya karena terhalang awan, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban itu menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Hibban). 9)
Perkembangan dan capaian ilmu pengetahuan, terutama astronomi di masa sekarang sudah demikian pesat dan akuratnya, bahkan ketepatan hitungan dengan komputasi yang telah diobservasi berulangkali selama bertahun-tahun sehingga ketepatannya bisa mencapai hitungan detik. Saat terbenamnya matahari, bulan, bahkan kapan terjadinya gerhana matahari dan bulan telah bisa diprediksi sebelumnya. Karenanya setiap klaim rukyat sangat bisa diteliti dan dicocokkan apakah sesuai dengan ilmu pengetahuan atau tidak. Karena akurasinya, ada ulama ahli hisab yang berpendapat, bahwa zaman sekarang ilmu hisablah yang qath’iy (pasti), sedangkan apa yang disampaikan saksi rukyat menjadi khabar zhanniy (dugaan) 10), karena klaim rukyat seringkali keliru atau setidaknya bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Apabila terjadi klaim rukyat padahal saat itu di tempat rukyat matahari belum terbenam (seperti kasus klaim rukyat Cakung akhir Syakban yang lalu) 11), sudah pasti klaimnya adalah hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Sangat bisa terjadi yang mereka lihat adalah bayangan sinar matahari pada awan. Satu hal yang naïf apabila kualitas rukyat yang tidak valid seperti itu dijadikan sebagai dasar untuk memulai puasa Ramadhan.
Memang saat ini tidak ada aturan yang membatasi hak azasi orang untuk melakukan rukyatul hilal. Akan tetapi jika asal orang mengaku melihat hilal laporannya diterima tanpa klarifikasi berdasarkan ilmu pengetahuan, pasti akan menimbulkan kekacauan, karena bisa saja orang melaporkan melihat hilal padahal masih tanggal 27 atau 28, atau mengaku melihat hilal pada waktu subuh, melihat hilal di ufuk timur, dan lain sebagainya. Apalagi jika yang mengklaim melihat hilal itu telah menghitung berdasarkan kitab falak klasik (Sullamun Nayirain) yang masih sangat sederhana dan kasar hitungannya 12) lalu berobsesi besar untuk dapat melihat hilal, sangat mungkin akan terbawa dengan obsesinya yang keliru.
Dengan demikian, menanyakan kepada saksi beberapa hal mengenai  apa yang telah dilihatnya hanya bertujuan untuk memastikan, apakah yang dilihat oleh saksi itu hilal atau bukan, agar tidak terjadi kekeliruan “ulul amri” dalam menetapkan kapan terjadinya awal bulan sama sekali tidak melanggar atau bertentangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW karena kondisi zaman dan umatnya memang telah berbeda. Dan semestinya hanya pemerintahlah satu-satunya yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan tanggal satu Ramadhan, Syawal  dan Dzulhijjah, bukan ormas, apalagi orang perorang.   Kaidah fiqhiyah menyatakan : 
       حكم الحاكم الزام ويرفع الخلاف
“ketetapan hakim(pemerintah) bersifat mengikat (harus ditaati) dan menghilangkan perbedaan”.
Wallahu a’lam.

CATATAN
1) Ditolaknya klaim rukyat Cakung bukan baru tahun 2012 ini saja, Menurut penelitian Mutoha Arkanudin dari RHI, sepanjang 23  tahun (1408-1432), klaim rukyat Cakung sebanyak 5 kali ditolak dalam forum siding itsbat awal bulan, dan 9 kali diterima. Namun yang diterima ini disertai catatan, bahwa klaim tersebut bertentangan dengan sains. (http://rukyatulhilal.org/artikel/23-tahun-isbat-indonesia.htmlhttp://rukyatulhilal.org/artikel/23-tahun-isbat-indonesia.html )
2)    Maktabah Syamilah, Kitab Fiqhussunnah juz I hal.435.

3)     عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنِّى رَأَيْتُ الْهِلاَلَ - قَالَ الْحَسَنُ فِى حَدِيثِهِ يَعْنِى رَمَضَانَ - فَقَالَ « أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا ».


5)  Makalah seminar hisab rukyat

6)   Maktabah Syamilah, op.cit

7)  Hisab wujudul hilal menganut prinsip, apabila ijtima’/konjungsi terjadi sebelum ghurub/matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam itu hilal terbenam setelah matahari, maka hilal dianggap sudah wujud/sudah masuk bulan baru tanpa mempersoalkan berapa ketinggian hilal. Semestinya mereka mencukupkan dengan hasil hisab saja tanpa perlu hasil rukyat. Akan tetapi klaim rukyat yang terjadi tanggal 19 Juli yang lalu, demikian pula tahun-tahun lalu, seringkali dipakai debagai dalil pembenar prinsip wujudul hilal oleh orang-orang (termasuk tokoh panutan) yang tak paham ilmu hisab.
    
8) إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين (البخارى ، ومسلم ، وأبو داود ، والنسائى عن ابن عمر)
Hadits ini bukan berarti umat Islam dari zaman Nabi Muhammmad SAW sampai dengan sekarang harus tetap dalam kondisi ummi.  Pemahaman demikian sangat tidak berdasar dan tentu saja bertentangan dengan hadit-hadits lain yang mewajibkan umat Islam menuntut ilmu dan menggapai kemajuan/kejayaan dunia-akhirat.  Hadits di atas hanya menggambarkan kondisi riil yang dialami oleh umat Islam pada saat itu yang masih belum mengetahui baca-tulis maupun ilmu hisab, sehingga Nabipun mengambil metode penetapan awal bulan yang sudah dikenal umat saat itu, yaitu rukyat.

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا شعبان ثلاثين (البخارى، ومسلم ،9) والنسائى ، وابن حبان عن أبى هريرة .

 atau menurut versi riwayat lain Nabi juga mengatakan:
الشهر هكذا وهكذا وهكذا وعقد إبهامه فى الثالثة صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمى عليكم فاقدروا ثلاثين (مسلم ، والنسائى عن ابن عمر)

10)   Antara lain Imam Taqiyyuddin As-Subkiy dalam kitab Fatawanya (juz I hal.219-220)

11)  Perukyat dari Cakung, saat reporter TV One menanyakan kepada salah seorang saksi yang mengaku melihat hilal pada hari itu (18/7/2012), mengapa mereka hanya memakai mata kepala, tanpa menggunakan teropong ketika melakukan rukyat, sedangkan alat itu ada, maka jawabnya, “karena teropong hanya untuk obyek yang tingginya di atas lima derajat, dan teropong itu hanya fokus pada satu titik sedangkan mata bisa bebas mencari hilal.” Sebuah jawaban yang menggambarkan awamnya mereka tentang hisab rukyat dan alat-alat teknologi yang seharusnya memberi  manfaat lebih kepada mereka.
Hilal itu adalah sesuatu yang eksakta, maka jika satu orang mengaku bisa melihat, pasti orang lain bisa melihat pula, apalagi bila melihatnya dengan alat bantu optic (semisal teropong) yang kemampuannya jauh melebihi mata biasa.

12)  Dari kelompok kitab falak klasik yang menggunakan hisab taqriby, hasil perhitungan kitab Sullamun Nayirain selalu paling besar perbedaannya. Rankingnya berada pada urutan paling bawah. Dalam perhitungan saat terjadinya ijtimak perbedaannya sering sangat mencolok, sampai berpuluh menit, bahkan sampai berjam-jam. Demikian pula pada posisi hilal perbedaannya paling mencolok. (Almanak Hisab Rukyat, Depag.RI, hal.159).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.