KOREKSI SHALAT KITA
(Bagian I)
Melihat judul di atas, konotasinya
adalah bahwa yang shalat sudah biasa kita lakukan selama ini masih salah
sehingga perlu dikoreksi. Ironinya, sekalipun salah, tidak semua orang mau
dikoreksi, apalagi kalau yang melakukan koreksi itu bukan ulama atau ustadz.
Akan tetapi pernahkah kita membayangkan, bagaimana jika yang mengoreksi shalat kita adalah Rasulullah,
Muhammad SAW sendiri? Pada bagian
pertama tulisan di bawah ini, penulis mencoba mengulas beberapa hadits yang
menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW mengoreksi shalat yang dilakukan oleh
para sahabatnya, yang penulis bandingkan dengan pengamatan penulis terhadap
shalat yang biasa kita lakukan sehari-hari secara individu (munfarid, adapun
mengenai koreksi shalat berjamaah insya Allah akan penulis sampaikan pada
tulisan bagian kedua.), siapa tahu kita masih termasuk orang yang belum benar shalatnya
sehingga masih mendapat teguran dari Nabi SAW.
Thuma’ninah
Rasulullah SAW biasa
mengajarkan tata cara shalat kepada para sahabatnya secara terbuka, tak ada
tata cara atau bacaan tertentu yang disembunyikan atau hanya diajarkan kepada
orang-orang tertentu.1) Kemudian tata cara dan bacaan yang diajarkan
Nabi SAW diteruskan dari generasi sahabat ke tabi’in, kemudian kepada tabi’ut
tabi’in, para ulama madzhab dan seterusnya melaui para ulama dan ustadz sampailah
kepada kita generasi sekarang.
Sekalipun Nabi SAW pada
saat itu telah mengajarkannya secara terbuka kepada banyak orang, akan tetapi
karena faktor geografis, kesulitan sarana transportasi dan komunikasi
menyebabkan sebagian orang tidak mengetahui secara langsung tata cara shalat
yang diajarkan Nabi SAW. Salah satunya ialah seorang Arab Badui yang bernama Khallad bin
Rafi’, yang ketika selesai mengerjakan shalat “Tahiyyatul Masjid”(menurut
Al-Hafizh Ibn Hajar al-Ashqollany) ditegur dan diperintah oleh Nabi SAW untuk
mengulangi shalatnya hingga tiga kali, sebagaimana riwayat hadits di bawah ini.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرَدَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
السَّلاَمَ قَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ». فَرَجَعَ الرَّجُلُ
فَصَلَّى كَمَا كَانَ صَلَّى ثُمَّ جَاءَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَعَلَيْكَ
السَّلاَمُ ». ثُمَّ قَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ». حَتَّى
فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ الرَّجُلُ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ
مَا أُحْسِنُ غَيْرَ هَذَا عَلِّمْنِى. قَالَ « إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ
فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Artinya: Dari Abu
Hurairah RA, bahwa Nabi SAW masuk ke dalam masjid, tak lama kemudian datanglah
seorang lelaki masuk ke dalam masjid lalu mengerjakan sholat. Kemudian ia
datang kepada Nabi SAW mengucapkan salam. Nabi
pun menjawab salamnya dan
bersabda,"Ulangilah sholatmu, karena kamu belum sholat!" Orang itu pun mengerjakan sholat kemudian
mendatangi Nabi, akan tetapi Nabi menyuruh mengulangi lagi sholatnya sampai
tiga kali. Akhirnya dia berkata, "Demi Dzat yang
mengutus Anda dengan kebenaran. Aku tidak bisa
sholat yang lebih bagus lagi, maka ajarilah aku!" Kata Nabi SAW, "Jika kamu hendak sholat, maka
ucapkanlah takbir
lalu bacalah ayat Quran yang sudah kau hapal.
Lalu ruku’lah sampai kamu ruku’ dengan tenang, lalu berdirilah hingga
kamu tegak lurus berdiri, lalu sujudlah sampai kamu sujud dengan tenang,
lalu duduklah sampai kau duduk dengan tenang, lalu sujudlah sampai kau
sujud dengan tenang. Kemudian kamu kerjakan demikian pada setiap
sholatmu!"
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim
serta periwayat hadits yang lain, dan terkenal dengan sebutan hadits
musi’ shalat, yang artinya
hadits mengenai orang yang salah shalatnya. Para ulama banyak menjadikan hadits ini
sebagai dasar untuk menetapkan perbuatan apa yang wajib dan tidak wajib
dilakukan ketika shalat.
Yang menarik, dalam hadits ini Nabi SAW tidak
mengajari orang Badui tersebut bacaan sholat, Sangat mungkin, barangkali menurut
Nabi SAW. pria itu sudah hafal bacaan shalat, sehingga tidak perlu diajari
bacaan shalat. Yang dikoreksi Nabi dan kemudian menjadi fokus pembahasan hadits
ini adalah agar orang tersebut mengerjakan shalat dengan posisi dan gerakan
yang thuma’ninah (tenang). Jumhur (kebanyakan) ulama mufakat,
bahwa thuma’ninah dalam posisi dan gerakan ruku’, i’tidal,
sujud dan duduk antara dua sujud itu wajib hukumnya.
Sebenarnya
apabila bacaan doa/dzikir ketika melakukan ruku’, sujud dan lainnya itu dibaca
sebagaimana mestinya dan tidak terburu-buru (selesaikan bacaan sempurna baru
melanjutkan gerakan berikutnya), tuma’ninah sudah pasti didapatkan.
Penulis sendiri tidak mengerti apa yang dibaca orang ketika melakukan shalat
dengan terburu-buru. Pada hadits yang
lain Rasulullah SAW secara tegas mengritik dan mengoreksi kecepatan orang yang
melakukan shalat dengan meninggalkan thuma’ninah, dan menyebutnya dengan
“Pencuri Shalat”.
أسوأ الناس سرقة الذى يسرق من صلاته قالوا كيف يسرق من صلاته
قال لا يتم ركوعها ولا سجودها ولا خشوعها (أحمد ، والدارمى ، وابن خزيمة(
Artinya: "Sejelek-jelek
orang ialah yang mencuri sholatnya!" Para sahabat bertanya,"ya
Rasulullah, bagaimana orang yang mencuri sholatnya? Kata beliau, "orang
yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya".
Di
hadits yang lainnya Rasul SAW juga mengibaratkan orang yang tidak thuma’ninah
dalam melakukan sujud itu seperti ayam yang sedang makan.
إذا صلى أحدُكم فليتمَّ ركوعَه ولا ينقرْ فى سجودِهِ فإنما
مَثَلُ ذلك كمثلِ الجائعِ يأكلُ التمرةَ والتمرتين فماذا يغنيانِ عنه (تمام ، وابن
عساكر عن أبى عبد الله الأشعرى)
Artinya: “Jika salah seorang dari kalian
mengerjakan shalat, sempurnakanlah ruku’nya, dan janganlah mematuk-matuk dalam
sujud seperti seekor ayam yang makan sebutir dua butir korma tapi tidak
mengenyangkannya.” (HR. Ibnu Asakir)
Apakah
yang dimaksud tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud dalam hadits di atas hanya
bagi orang yang tidak thuma’ninah dalam mengerjakan ruku’ dan sujud
saja? Ternyata tidak, posisi kita ketika ruku’, i’tidal dan sujud juga menjadi
perhatian Allah, sehingga Nabi SAW perlu mengingatkan dengan sabdanya dalam
hadits-hadits di bawah ini:
لا ينظر الله إلى رجل لا يقيم صلبه بين ركوعه وسجوده (أحمد عن أبى
هريرة)
Artinya: “Allah SWT tidak akan memperhatikan (shalat)
seseorang yang tidak meluruskan tulang belakangnya antara ruku’ dan sujudnya.”
(HR. Ahmad dari Abu Hurairah)
Dalam hadits di atas menggunakan kata “baina”
(antara). Yang dimaksudkan dengan posisi antara ruku’ dan sujud tentu ketika
bangkit dari ruku’ (i’tidal). Artinya ketika bangun dari ruku’ kita harus dalam
posisi berdiri sempurna terlebih dahulu sebelum lanjut pada gerakan turun bersujud.
Kita melihat realitanya ada orang-orang yang belum benar-benar sempurna posisi
berdirinya saat i’tidal, sudah turun sujud ke lantai.
Meskipun
lafal hadits di atas menggunakan kata “baina”, akan tetapi dalam hadits
lain di bawah ini mengunakan kata “fii”(di dalam). Jadi dalam konteks
ini yang dimaksudkan adalah lurusnya punggung ketika melakukan ruku’ dan sujud.
يا معشر المسلمين لا صلاة لمن لا يقيم صلبه فى الركوع والسجود
(ابن ماجه ، والطبرانى عن على بن شيبان الحنفى)
Artinya: “Wahai kaum muslimin, tidak (sah/sempurna/dianggap)
shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang belakangnya dalam ruku’ dan
sujud (HR.Ibn Majah dan Thabrany dari Ali bin Syaiban al Hanafy)
عن أبي مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( لا تجزئ صلاة
لأحد لا يقيم صلبه في الركوع والسجود )
Artinya : "Dari Abi Mas’ud dia berkata,
bahwa Nabi SAW bersabda,”Tidak sempurna shalat seseorang yang tidak meluruskan
punggungnya ketika ruku’ dan sujud.” (HR.Ibnu Hibban dalam shahihnya)
Pertanyaan berikutnya, apakah cuma meluruskan
punggung saja yang penting dalam mengerjakan ruku’ dan sujud? Tentu saja jika
kita tidak mengetahui secara utuh bagaimana tuntunan Nabi SAW dalam melakukan
ruku’ dan sujud boleh jadi kita tidak dapat benar-benar ruku’ dan sujud seperti
yang dimaksud dalam hadits di atas, karena ternyata posisi jari tangan, siku,
kaki turut berperan dalam membentuk kesempurnaan posisi ruku’ dan sujud.
Tata cara Nabi SAW ruku’
Banyak hadits yang menggambarkan cara Rasulullah SAW melakukan
ruku’, di antaranya sebagai berikut:
( إذا ركعت فضع راحتيك على
ركبتيك ثم فرج بين أصابعك ثم امكث حتى يأخذ كل عضو مأخذه )
Artinya: "Bila kamu rukuk maka letakkan kedua telapak
tanganmu di atas kedua lututmu lalu renggangkan jari-jarimu, lalu tetaplah
begitu sampai tiap-tiap ruas tulang belakang lurus".(HR.Ibn Hibban dan
Ibn Khuzaimah)
فَلَمَّا رَكَعَ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَجَعَلَ
أَصَابِعَهُ أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ وَجَافَى بَيْنَ مِرْفَقَيْهِ حَتَّى اسْتَقَرَّ
كُلُّ شَىْءٍ مِنْهُ
Artinya: "Beliau
ketika ruku’ meletakkan telapak tangannya di atas kedua lututnya dan meletakkan
jari-jarinya di bawahnya dan menjauhkan kedua sikunya (dari badannya) hingga
tenang anggota tubuhnya." (HR.Abu Dawud)
ثم يركع ويضع
راحتيه على ركبتيه معتمدا . لا يصب رأسه ولا يقنع . معتدلا.
Artinya : "Lalu beliau ruku’ dan meletakkan
kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya, tidak menundukkan kepala tidak
pula mengangkatnya (lurus dengan punggung)" (HR.Ibn Majah).
Berdasarkan hadits-hadits di atas, dapat
disimpulkan tata cara ruku’ yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai
berikut:
1. Meletakkan telapak tangan di lutut dan
membuka jari-jari;
2. Merenggangkan tangan (siku) dari tubuh;
3. Meluruskan punggung dan kepalanya;
4. Tenang sejenak (thuma'ninah)
Tata cara Nabi SAW sujud
Mengenai bagaimana cara Nabi SAW melakukan sujud, kita dapat
mempelajari antara lain hadits-hadits di bawah ini:
إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ
Artinya: “Bila kamu bersujud, maka letakkan telapak tanganmu
dan angkat kedua sikumu”. (HR
Muslim)
فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ
مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ
Artinya:”Ketika
bersujud, beliau SAW meletakkan tangannya, tidak menjulurkannya tidak pula
merapatkannya (ke badan), dan menghadapkan jari-jarinya kea rah kiblat.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
اعْتَدِلُوا
فِى السُّجُودِ وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
Artinya: “Luruskan (punggungmu) saat bersujud, dan
janganlah kamu menjulurkan kedua lenganmu seperti anjing menjulurkan lengannya.”
(HR Muslim)
أن النبي صلى الله عليه و
سلم كان إذا سجد أمكن أنفه وجبهته [ من ] الأرض ونحى يديه عن جنبيه ووضع
كفيه حذو منكبيه
Artinya:“Bahwa
Nabi SAW ketika sujud merapatkan hidung dan keningnya ke lantai, merenggangkan
kedua tangannya dari pinggang 2) dan meletakkan telapak tangannya sejajar dengan bahunya”.
إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ
سَبْعَةُ آرَابٍ وَجْهُهُ وَكَفَّاهُ وَرُكْبَتَاهُ وَقَدَمَاهُ
Artinya: "Bila seorang hamba bersujud,
maka bersujud tujuh anggota tubuhnya; wajahnya, kedua tangannya, kedua lututnya
dan kedua kakinya". (HR. Abu Dawud)
قالت عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم : فقدت رسول الله صلى الله
عليه و سلم وكان معي على فراشي فوجدته ساجدا راصا عقبيه مستقبلا بأطراف أصابعه
القبلة…
Artinya: Aisyah RA,
istri Nabi SAW berkata,”Aku kehilangan Nabi SAW yang sebelumnya tidur
bersamaku. Maka aku mendapatinya sedang sujud merapatkan tumitnya dan
menghadapkan ujung-ujung jari kakinya ke arah kiblat”. (HR. Baihaqy, Ibnu
Khuzaimah dan Ibn Hibban)
Dari berbagai hadits di atas, tata cara Nabi SAW bersujud dapat
diringkas sebagai berikut:
1. Menempelkan kening dan hidung di
lantai;
2. Meletakkan telapak tangan di lantai
sejajar dengan kedua bahu;
3. Jari
tangan dirapatkan dan dihadapkan kea rah kiblat;
4. Menjauhkan lengan/siku dari badan;
4.Jari kaki dihadapkan ke kiblat dan dirapatkan tumit.
Larangan dan anjuran dalam
rukuk dan sujud:
Pada sebagian masyarakat yang tinggal di
kawasan Indonesia bagian timur biasanya menjadikan sujudnya yang terakhir (pada
rakaat akhir, sebelum duduk tawaruk) paling lama dibandingkan dengan
sujud-sujud sebelumnya. Mereka beranggapan kalau dalam sujud terakhir itu kita banyak berdoa atau berdoa secara khusus, pasti akan dikabulkan oleh
Allah SWT. Benarkah anggapan itu? Apakah kita harus mengkhususkan sujud
terakhir untuk berdoa? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita mencermati
apa yang dilarang dan apa yang dianjurkan untuk dilakukan ketika sujud.
ألا
إني نهيت أن أقرأ راكعا وساجدا أما الركوع فعظموا فيه الرب وأما السجود فاجتهدوا
في الدعاء فقمن أن يستجاب لكم
Artinya:"Ingatlah,
sesungguhnya aku dilarang membaca Quran ketika rukuk atau sujud. Adapun ketika ruku’ maka agungkanlah Tuhan
yang memiliki keagungan dan kemuliaan, dan ketika sujud bersungguh-sungguhlah
berdoa, karena patut akan dikabulkan doanya" (HR.Ibnu Hibban)
Jelas dari hadits di atas, kita hanya
dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa, khususnya pada saat kita
melakukan sujud, namun Nabi SAW tidak membatasi hanya pada sujud yang terakhir
saja seperti yang dilakukan sebagian orang. Banyak dzikir dan doa yang
dicontohkan Nabi SAW untuk diamalkan di dalam shalat, maka hendaklah kita
mengambilnya sebagai pedoman untuk kita amalkan, tanpa menambah-nambah dengan
dzikir dan doa kita sendiri, karena shalat adalah ibadah mahdloh (khusus,
yang tidak boleh dikarang-karang manusia). Namun ulama memperbolehkan kita
berdoa dengan bahasa kita sendiri di dalam hati, karena hal itu tidak termasuk
menambah-nambah perbuatan shalat yang dilarang.
Lamanya
Rukuk, Sujud, I’tidal dan Iftirasy
Apakah sujud pada rokaat terakhir lebih
lama daripada sujud pada rakaat yang lain dapat pula kita dapatkan jawabannya
pada hadits di bawah ini.
فَقَالَ سَمِعْتُ
الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ يَقُولُ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- وَرُكُوعُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَسُجُودُهُ وَمَا
بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ.
Artinya: Abdurrahman bin
Abi Laila mendengar Barra’ bin ‘Azib berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW ruku’,
i'tidal, sujud dan duduk antara dua sujudnya hampir sama lamanya."
(HR. Bukhari, Muslim).
Jari Saat Tasyahud
Kalau kita perhatikan
bagaimana cara orang-orang berisyarat dengan jari telunjuknya pada saat duduk
tasyahud akan kita dapatkan perbedaan satu sama lain, seperti cara mengepalkan
tangan kanan, cara menunjuk, saat mulai menunjuk, dan lain-lain. Perbedaan itu sah-sah saja selama masih
didasarkan pada Sunnah Nabi SAW, sehingga penulis tak akan membahas perbedaan
itu. Akan tetapi ada satu kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang (bahkan
ironinya, yang melakukan kesalahan ini termasuk tokoh agama/para imam
masjid,terutama di Indonesia timur). Mereka pada saat membaca syahadat tauhid
menunjuk dengan jari telunjuknya, dan pada saat membaca syahadat rasul,
menunjuk dengan ibu jarinya, yang kemudian dirapatkan ke jari telunjuknya. Hal yang "kurang lebihnya" sama pernah dilakukan oleh seorang sahabat Nabi bernama Sa’ad
bin Abi Waqash dan mendapat teguran Rasulullah SAW.
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِى
وَقَّاصٍ قَالَ مَرَّ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا أَدْعُو
بِأُصْبُعَىَّ فَقَالَ « أَحِّدْ أَحِّدْ ». وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ.
Artinya: Dari Sa’ad bin Abi Waqash, ia berkata,”Nabi SAW lewat di dekatku
ketika aku sedang shalat dan berisyarat dengan dua jariku, maka Nabi SAW
berkata,’satu jari-satu jari’ dan beliau berisyarat (menunjuk) dengan jari
telunjuknya.” (HR. Abu Dawud,
Turmudzi,Nasai, Ibn Hibban)
Wallahu a’lam
bish-shawab.
1)
Kalaupun ada doa atau dzikir tertentu yang
diajarkan Nabi SAW kepada seorang sahabatnya, seperti Abu Bakar, Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Abbas, merekapun menyampaikannya kepada sahabat yang lain sehingga
menjadi hadits yang diketahui kaum muslimin umumnya. Hal ini berbeda dengan
anggapan sebagian orang, bahwa ada beberapa amalan tertentu yang harus
diajarkan secara khusus oleh guru-guru khusus dan tidak boleh diajarkan secara
luas.
Di Maluku Utara penulis pernah mendengar, bahwa hadits tentang iman, islam
dan ihsan tidak boleh diajarkan secara terbuka, karena Malaikat Jibril AS dulu
mengajarkan kepada Nabi SAW dengan cara khusus, yakni duduk iftirasy
(bersimpuh) dengan menempelkan kedua lututnya ke lutut Nabi SAW. Mereka hanya
menerima ajaran dari mulut ke mulut yang diajarkan guru/orang tua mereka, tanpa
membaca hadits itu secara utuh, sehingga mereka tidak tahu, bahwa saat itu
Malaikat Jibril mendatangi Nabi SAW yang sedang berada di hadapan para
sahabatnya dan sengaja menanyakan kepada Nabi SAW apa itu imam. Islam dan
ihsan, supaya Nabi SAW menjelaskannya di depan para sahabatnya.Kata beliau, فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ
يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ(HR. Bukhari, Muslim)
2)
Menurut hadits lain: كَانَ
إِذَا سَجَدَ فَرَّجَ يَدَيْهِ عَنْ إِبْطَيْهِ حَتَّى إِنِّى لأَرَى بَيَاضَ
إِبْطَيْهِ “merenggangkan tangan sehingga kelihatan putih ketiak
beliau.” Bahkan terkadang sangat
renggangnya sehingga oleh periwayat hadits dikatakan, كَانَ إِذَا سَجَدَ جَافَى بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى لَوْ
أَنَّ بَهْمَةً أَرَادَتْ أَنْ تَمُرَّ تَحْتَ يَدَيْهِ مَرَّتْ “ibaratnya, anak kambing bisa lewat di antara tangannya.”
Tentu kecuali bila berjamaah (sebagai makmum), harus memperhatikan kepentingan
makmum yang lain, jangan sampai makmum di sampingnya tidak bisa sujud karena
terhalang oleh sikunya yang dibuka
lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.