Ketika sebuah kapal penumpang terbakar di laut lepas,
sejumlah penumpang yang bisa berenang melompat dan berhasil selamat mencapai
pulau karang terdekat . Di antara yang selamat tersebut ada dua orang
politikus, dua orang ekonom, dua orang ilmuwan dan sisanya orang kebanyakan
yang tanpa keahlian khusus. Dua orang politikus yang selamat adalah
satu di eksekutif pemerintahan, satu di parlemen. Dua ekonomnya adalah
satu ekonom kapitalis dan satu lagi ekonom sosialis. Adapaun dua ilmuwannya
adalah ahli kimia dan ahli fisika.
Karena jauhnya pulau karang tersebut dari
pulau yang berpenghuni, bantuan lewat laut baru akan bisa tiba dalam satu dua
minggu. Untuk sementara bantuan hanya bisa diterjunkan lewat udara dan tidak
ada sarana komunikasi antara orang-orang yang terdampar di pulau
tersebut dengan team bantuan yang di pesawat.
Sambil menunggu kapal penyelamat yang akan datang
satu dua minggu kedepan, bantuan yang diterjunkan dari pesawat adalah makanan
agar mereka yang terdampar dapat survive selama menunggu bantuan berikutnya.
Sayangnya makanan yang diterjunkan dari pesawat tersebut semuanya berupa
makanan kaleng dan pihak pemberi bantuan lupa untuk menyertakan alat pembuka
kalengnya.
Dalam menyikapi bantuan makanan dalam kaleng,
ternyata latar belakang para survivor di pulau karang tersebut berperan
sangat dominan. Sang eksekutif pemerintahan sibuk meyakinkan survivor lainnya
agar memilih dia sebagai pemimpin dulu, setelah itu dia berjanji akan
membukakan kalenng-kaleng makanan yang ada. Sang anggota parlemen sibuk
membuat aturan bagaimana kaleng makanan boleh dibagi dan aturan bagaimana
membukanya.
Sang ahli fisika berusaha menangkap sinar matahari,
memfokuskannya pada tutup kaleng agar tutup kaleng meleleh dan berharap
kemudian bisa terbuka. Sang ahli kimia sibuk mengambil air dari laut untuk
membasahi tutup kaleng karena menurut teori dia dengan itu tutup kaleng akan
berkarat dan setelah itu akan mudah dibuka.
Sang ekonom sosialis sibuk mengusulkan pembagian
kaleng-kaleng makanan yang sudah diturunkan di pulau karang karang tersebut
agar dibagi sama rata sama rasa. Lantas yang terakhir adalah si ekonom
kapitalis, dia berhasil memukau seluruh survivor untuk sejenak meninggalkan
aktifitas masing-masing dan mendengarkan usulannya. Begini usulannya, “Bapak-bapak
dan ibu-ibu para survivor, faktanya kita punya potensi makanan yang cukup.
Kita tidak perlu panik, kita asumsikan saja kita bisa membukanya…”.
Beberapa hari berlalu, semua survivor semakin tidak
bisa nahan rasa lapar. Para poltikus, ekonom dan ilmuwannya ternyata tidak
ada yang berhasil membuat kaleng makanan terbuka. Para politikus tidak
bisa membuka kaleng dengan otoritasnya, para ilmuwan tidak bisa membuka
kaleng dengan ilmu dan eksperimennya, dan para ekonompun tidak
bisa membuka kaleng dengan kompetensi yang dibangunnya.
Tiba-tiba satu survivor dari rakyat kebanyakan yang
tidak memiliki kehalian khusus, didorong rasa laparnya yang tidak tertahankan
lagi mengambil makanan kaleng yang menjadi jatahnya. Dicarinya batu sebesar
kepalan tangan kemudian dipukulinya keras-keras kaleng makanan tersebut dan
akhirnya terbuka.
Yang lain lagi yang juga tidak memiliki keahlian
khusus, tidak pula menemukan batu sekepalan tangan – tetapi dia melihat
daratan yang dinjaknya adalah batu karang yang keras. Maka tidak
berpikir panjang dia lantas membanting makanan kaleng jatahnya ke batu
karang, sekali cuma penyok tetapi tetap tidak membuka, dua kali belum juga
membuka baru yang ketiga kali dibanting sekuat tenaga baru kaleng terbuka.
Walhasil akhirnya semua bisa membuka kaleng dengan caranya sendiri-sendiri
dan kemudian bisa makan cukup sampai kapal penyelamat datang.
Mengapa para politikus, ilmuwan dan ekonom tersebut
diatas tidak bisa (memberi jalan untuk) membuka kaleng?. Itu karena
mereka terperangkap oleh posisinya, jabatannya, ilmu maupun kompetensinya
. Mereka menjadi kehilangan prioritas dan tidak fokus mengatasi masalah yang ada
di depan mata..
Sebaliknya mengapa justru rakyat kebanyakan yang
tanpa ilmu yang khusus, tanpa keahlian maupun jabatan justru pada bisa
mengatasi masalahnya ? Ini karena rasa lapar yang tidak tertahankan lagi yang
membuat mereka sangat fokus untuk membuka kaleng makanan dengan cara
apapun, tidak ada prioritas lain, tidak ada agenda lain selain membuka kaleng
ini – maka terbukalah kaleng makanan meskipun tanpa alat pembuka yang selayaknya.
Demikianlah rata-rata kita, menyikapi masalah dengan
kacamata kita sendiri, berusaha mengatasinya berdasarkan kapasitas kita, ilmu
kita atau kompetensi kita. Padahal masalah-masalah kehidupan itu kadang
tidak terduga, sering begitu komplek, atau bahkan sebenarnya simpel tetapi
hanya berada diluar perimeter wawasan kita, maka yang diperlukan adalah fokus
pada masalahnya dan menaruh prioritas pada upaya
penyelesaiannya, maka masalah apapun akan terselesaikan. InsyaAllah.
*Penulis
Direktur Gerai Dinar, kolumnis
Sumber: www.hidayatullah.com
(dengan editting seperlunya, dan penulisan tebal untuk stessing dari pemilik bolg)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.