Translate

Jumat, 07 Oktober 2011

"Bonek" Tersesat di Rimba Beton


Harus pilih jalan yang mana aku ini?  Di tengah terik matahari saat istiwa’ (tengah hari) aku masih  bingung mencari jalan pulang ke rumah kakak sepupuku di kawasan Manggarai, Jakarta Timur. Padahal mereka sudah menunggu di rumah untuk mengantarkan aku ke acara resmi yang amat penting bagiku.
Sehari menjelang Rakernas Mahkamah Agung, dari Ambon aku dan seorang teman (asli orang
Maluku), terbang ke Jakarta dan singgah di rumah kakak sepupuku. Minggu pagi itu (22/9/2011) aku pinjam motor matic milik kakak sepupuku untuk mengambil uang via ATM yang jauhnya kurang lebih satu kilo meter dari rumahnya. Tidak sulit mencari ATM yang dimaksud, karena kakak sudah memberi “ancar-ancar” jalan yang harus aku lewati. Setelah berhasil mendapatkan uang sekedar mengisi dompet, kupikir tanggung kalau sudah sampai Jakarta, ada waktu dan sarana tapi tidak dimanfaatkan. Tujuanku adalah Monumen Nasional (Monas). Memang sepertinya masalah sepele, karena sebenarnya untuk menuju ke Monas tidak perlu repot-repot, minta diantar sopir (taxi, bus, dll.) saja bisa duduk santai sampai di tempat tujuan.  Namun masalahnya menjadi berbeda, jika aku naik motor sendiri dan mencari sendiri tempat yang dituju. Sebuah tantangan yang amat mengasyikkan, pikirku. Apalagi selama hidupku aku belum pernah sama sekali naik motor sendiri di jalanan ibukota Negara.
Memang pada tahun 1993 aku pernah mengikuti pendidikan khusus di Ciputat, Jakarta, tapi kegiatanku cuma 3K, yaitu dari rumah Kos – Kampus – Kampung (pulkam ke Semarang), jarang sekali keliling kota. Kalaupun pergi, paling cuma dengan bis kota (maklum anak kos yang pas-pasan). Setelah itu tahun 1994 aku pergi merantau ke Maluku Utara, di ujung utara Pulau Halmahera dan tinggal di sana bertahun-tahun, sampai akhirnya sebuah amanah penting menghampiriku dan aku mulai bertugas di Maluku Tenggara. Mulai dari situ kemudian aku beberapa kali berkesempatan mengikuti acara resmi/dinas di Jakarta. Akan tetapi itu tak begitu membantuku untuk mengenali jalanan ibukota, karena kemana-mana selalu diantar sopir taxi.
Mulailah aku menyusuri jalanan ibukota dengan mengandalkan modal tekad. (Bonek:Banda nekad: bahasa Jawa. Banda a dibaca o, yang berarti harta/modal, dan nekad: tekad: kemauan keras).  Setiap kali menghadapi persimpangan jalan, yang aku lakukan adalah:  pertama, membaca petunjuk arah jalan (itu jika ada); Kedua, kalau pentunjuk arah tidak ada, maka yang aku pakai adalah insting (bahasa agama ilham, tapi aku tidak berani menyebutnya begitu karena kedangkalan ilmuku). Ketiga, jika sudah buntu, tidak ada petunjuk arah dan aku ragu-ragu, maka aku bertanya kepada orang (ingat peribahasa “malu bertanya sesat di jalan”). Aku sangat berharap tidak perlu memakai cara yang keempat, karena ini yang ternekad, yaitu minta dikawal “foreraider” (sopir bajaj, hehe…).
Ternyata tidak sulit mencari Monas, kurang dari 30 menit sejak keluar rumah, aku sudah berhasil sampai ke sana. Alhamdulillah. Aku sarapan pagi di pelataran Monas, lalu jalan-jalan mencari pintu masuknya yang jauh sekali, sampai harus pindah tempat parkir.  Apakah setelah sampai di pelataran Monas sudah cukup? Tanggung, pikirku kalau tidak sampai ke puncaknya. Apalagi temanku yang asli Maluku belum pernah sama sekali melihat isinya Monas, aku merasa tak memperlakukan tamu/teman dengan baik, jika aku tak tahu perasaannya. Kebetulan aku dan temanku berasal dari daerah yang berslogan “Jangan ragu mendaki, jika mau ke puncak cita”.
Dengan modal harga tiket Rp 10.000,00 akhirnya aku dan temanku harus antri berbaris seperti “ular naga panjangnya bukan kepalang”. Selama dua jam harus sabar menunggu giliran untuk sampai ke pintu lift. Kami langsung menuju puncak Monas dan menikmati pemandangan padatnya kota Jakarta dari atas menara Monas setinggi 115 meter itu. Sempat juga kami memakai teropong yang disediakan.  “Itu gedung Mahkamah Agung berdekatan dengan gedung Istana Negara”, kataku kepada temanku seolah-olah jadi “guide”.
Hanya lima menit kami melihat-lihat pemandangan di puncak Monas, kakakku mengirim pesan singkat agar aku segera pulang karena ditunggu sopir yang siap mengantar kami ke acara rakernas. Wah, ternyata dua jam berdiri antri hanya untuk mendapatkan pemandangan yang lamanya cuma lima menit. Tetapi kupikir-pikir, untuk apa berlama-lama di puncak Monas? Apakah kalau antri dua jam harus ditebus dengan berjam-jam di puncaknya supaya impas dan puas?
Kamipun segera turun dan kembali menjadi “motor rider” menyusuri jalan-jalan di rimba beton ibukota Jakarta di tengah hari yang panas.  Ternyata jalan pulang lebih sulit daripada waktu berangkat. Kami mencoba untuk menyusuri jalan semula waktu berangkat tak ketemu. Kami harus berputar-putar dan salah jalan dulu. Jurus satu, dua, dan tiga untuk temukan jalan pulang sudah kucoba. Masih tambah jurus tiga plus, yaitu bertanya kepada kakakku lewat ponsel, apa nama alamat dekat rumahnya yang banyak dikenal orang. Sebenarnya ada satu hal yang tidak kusadari telah mempersulitku menemukan jalan pulang, yaitu sikap terburu-buru karena tahu sudah ditunggu orang. Wah, ternyata sudah dekat, cuma tidak tahu harus lewat jalan yang mana. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga ke rumah. Bisa sampai di rumah dalam keadaan selamat dan sehat saja sudah senang sekali, (cuma agak legam kedua tanganku yang tak memakai jaket). Alhamdulillah, aku telah mendapatkan pengalaman yang luar biasa pada hari itu .
Lantas apa pelajaran yang dapat kupetik dari perjalanan luar biasa itu?
1.      Bahwa sebenarnya untuk mencapai suatu niat/tujuan, perlu modal: pertama adalah tekad (kemauan kuat untuk mencapainya); Kedua ilmu (tanpa ilmu kita bisa salah jalan, tersesat, atau melakukan perbuatan yang kontra produktif); Yang ketiga adalah keyakinan bahwa kita bisa (dalam bahasa agama “iman”, agar kita selalu mempunyai tempat bergantung dan menyandarkan segala yang kita lakukan kepada Tuhan); dan yang keempat adalah komunikasi yang baik (termasuk komunikasi vertical melaui doa/ibadah, dan komunikasi horizontal kepada sesama).
2.      Apapun di dunia ini asalkan yang halal boleh kita cari (dengan cara halal pula), namun setelah kita mendapatkannya, jangan lupa bahwa kita hanya diberi kenikmatan dunia itu sekedar dan sementara sifatnya, karena tujuan hidup kita sebenarnya bukan dunia yang sementara ini, tapi akhirat yang kekal abadi. Terserah kepada kita sendiri, apakah kita mau menempuh jalan yang menyebabkan kita abadi di sorga atau abadi di neraka.
3.      Kadang kala kita salah jalan, mengabaikan jalan kebenaran yang diajarkan Tuhan, maka cepat-cepat kembalilah ke jalan yang benar sebelum jalan itu disamarkan Tuhan akibat perbuatan kita yang sudah menyimpang terlalu jauh dari kebenaran. Segeralah kembali ke jalan Tuhan, selagi kita masih diberi nafas kehidupan. Untuk kembali ke jalan Tuhan perlu tekad yang kuat, keyakinan yang lurus, ilmu tentang jalan kebenaran, dan ibadah yang ikhlas. Alangkah menyesalnya orang yang tersesat dan tidak sempat kembali ke jalan Tuhan hingga maut menjemputnya, maka tidak ada lagi jalan untuk kembali ke dunia selama-lamanya.

Wallahu a’lam.
"Si Bonek" yang habis meneropong kehidupannya sendiri





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.