Harus
pilih jalan yang mana aku ini? Di tengah
terik matahari saat istiwa’ (tengah hari) aku masih bingung mencari jalan pulang ke rumah kakak
sepupuku di kawasan Manggarai, Jakarta Timur. Padahal mereka sudah menunggu di rumah
untuk mengantarkan aku ke acara resmi yang amat penting bagiku.
Sehari
menjelang Rakernas Mahkamah Agung, dari Ambon aku dan seorang teman (asli orang
Maluku), terbang ke Jakarta dan singgah di rumah kakak sepupuku. Minggu pagi itu (22/9/2011) aku pinjam motor matic milik kakak sepupuku untuk mengambil uang via ATM yang jauhnya kurang lebih satu kilo meter dari rumahnya. Tidak sulit mencari ATM yang dimaksud, karena kakak sudah memberi “ancar-ancar” jalan yang harus aku lewati. Setelah berhasil mendapatkan uang sekedar mengisi dompet, kupikir tanggung kalau sudah sampai Jakarta, ada waktu dan sarana tapi tidak dimanfaatkan. Tujuanku adalah Monumen Nasional (Monas). Memang sepertinya masalah sepele, karena sebenarnya untuk menuju ke Monas tidak perlu repot-repot, minta diantar sopir (taxi, bus, dll.) saja bisa duduk santai sampai di tempat tujuan. Namun masalahnya menjadi berbeda, jika aku naik motor sendiri dan mencari sendiri tempat yang dituju. Sebuah tantangan yang amat mengasyikkan, pikirku. Apalagi selama hidupku aku belum pernah sama sekali naik motor sendiri di jalanan ibukota Negara.
Maluku), terbang ke Jakarta dan singgah di rumah kakak sepupuku. Minggu pagi itu (22/9/2011) aku pinjam motor matic milik kakak sepupuku untuk mengambil uang via ATM yang jauhnya kurang lebih satu kilo meter dari rumahnya. Tidak sulit mencari ATM yang dimaksud, karena kakak sudah memberi “ancar-ancar” jalan yang harus aku lewati. Setelah berhasil mendapatkan uang sekedar mengisi dompet, kupikir tanggung kalau sudah sampai Jakarta, ada waktu dan sarana tapi tidak dimanfaatkan. Tujuanku adalah Monumen Nasional (Monas). Memang sepertinya masalah sepele, karena sebenarnya untuk menuju ke Monas tidak perlu repot-repot, minta diantar sopir (taxi, bus, dll.) saja bisa duduk santai sampai di tempat tujuan. Namun masalahnya menjadi berbeda, jika aku naik motor sendiri dan mencari sendiri tempat yang dituju. Sebuah tantangan yang amat mengasyikkan, pikirku. Apalagi selama hidupku aku belum pernah sama sekali naik motor sendiri di jalanan ibukota Negara.
Memang
pada tahun 1993 aku pernah mengikuti pendidikan khusus di Ciputat, Jakarta,
tapi kegiatanku cuma 3K, yaitu dari rumah Kos – Kampus – Kampung (pulkam ke
Semarang), jarang sekali keliling kota. Kalaupun pergi, paling cuma dengan bis
kota (maklum anak kos yang pas-pasan). Setelah itu tahun 1994 aku pergi
merantau ke Maluku Utara, di ujung utara Pulau Halmahera dan tinggal di sana
bertahun-tahun, sampai akhirnya sebuah amanah penting menghampiriku dan aku
mulai bertugas di Maluku Tenggara. Mulai dari situ kemudian aku beberapa kali
berkesempatan mengikuti acara resmi/dinas di Jakarta. Akan tetapi itu tak
begitu membantuku untuk mengenali jalanan ibukota, karena kemana-mana selalu
diantar sopir taxi.
Mulailah
aku menyusuri jalanan ibukota dengan mengandalkan modal tekad. (Bonek:Banda
nekad: bahasa Jawa. Banda a dibaca o, yang berarti harta/modal, dan nekad: tekad:
kemauan keras). Setiap kali menghadapi persimpangan
jalan, yang aku lakukan adalah: pertama,
membaca petunjuk arah jalan (itu jika ada); Kedua, kalau pentunjuk arah tidak
ada, maka yang aku pakai adalah insting (bahasa agama ilham, tapi aku tidak
berani menyebutnya begitu karena kedangkalan ilmuku). Ketiga, jika sudah buntu,
tidak ada petunjuk arah dan aku ragu-ragu, maka aku bertanya kepada orang
(ingat peribahasa “malu bertanya sesat di jalan”). Aku sangat berharap tidak
perlu memakai cara yang keempat, karena ini yang ternekad, yaitu minta dikawal
“foreraider” (sopir bajaj, hehe…).
Ternyata
tidak sulit mencari Monas, kurang dari 30 menit sejak keluar rumah, aku sudah
berhasil sampai ke sana. Alhamdulillah. Aku sarapan pagi di pelataran Monas,
lalu jalan-jalan mencari pintu masuknya yang jauh sekali, sampai harus pindah
tempat parkir. Apakah setelah sampai di
pelataran Monas sudah cukup? Tanggung, pikirku kalau tidak sampai ke puncaknya.
Apalagi temanku yang asli Maluku belum pernah sama sekali melihat isinya Monas,
aku merasa tak memperlakukan tamu/teman dengan baik, jika aku tak tahu
perasaannya. Kebetulan aku dan temanku berasal dari daerah yang berslogan “Jangan
ragu mendaki, jika mau ke puncak cita”.
Dengan
modal harga tiket Rp 10.000,00 akhirnya aku dan temanku harus antri berbaris seperti
“ular naga panjangnya bukan kepalang”. Selama dua jam harus sabar menunggu
giliran untuk sampai ke pintu lift. Kami langsung menuju puncak Monas dan
menikmati pemandangan padatnya kota Jakarta dari atas menara Monas setinggi 115
meter itu. Sempat juga kami memakai teropong yang disediakan. “Itu gedung Mahkamah Agung berdekatan dengan
gedung Istana Negara”, kataku kepada temanku seolah-olah jadi “guide”.
Hanya
lima menit kami melihat-lihat pemandangan di puncak Monas, kakakku mengirim
pesan singkat agar aku segera pulang karena ditunggu sopir yang siap mengantar
kami ke acara rakernas. Wah, ternyata dua jam berdiri antri hanya untuk
mendapatkan pemandangan yang lamanya cuma lima menit. Tetapi kupikir-pikir, untuk
apa berlama-lama di puncak Monas? Apakah kalau antri dua jam harus ditebus dengan
berjam-jam di puncaknya supaya impas dan puas?
Kamipun
segera turun dan kembali menjadi “motor rider” menyusuri jalan-jalan di
rimba beton ibukota Jakarta di tengah hari yang panas. Ternyata jalan pulang lebih sulit daripada
waktu berangkat. Kami mencoba untuk menyusuri jalan semula waktu berangkat tak
ketemu. Kami harus berputar-putar dan salah jalan dulu. Jurus satu, dua, dan
tiga untuk temukan jalan pulang sudah kucoba. Masih tambah jurus tiga plus, yaitu
bertanya kepada kakakku lewat ponsel, apa nama alamat dekat rumahnya yang
banyak dikenal orang. Sebenarnya ada satu hal yang tidak kusadari telah
mempersulitku menemukan jalan pulang, yaitu sikap terburu-buru karena tahu
sudah ditunggu orang. Wah, ternyata sudah dekat, cuma tidak tahu harus lewat
jalan yang mana. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga ke rumah. Bisa sampai di
rumah dalam keadaan selamat dan sehat saja sudah senang sekali, (cuma agak
legam kedua tanganku yang tak memakai jaket). Alhamdulillah, aku telah
mendapatkan pengalaman yang luar biasa pada hari itu .
Lantas
apa pelajaran yang dapat kupetik dari perjalanan luar biasa itu?
1.
Bahwa
sebenarnya untuk mencapai suatu niat/tujuan, perlu modal: pertama adalah tekad
(kemauan kuat untuk mencapainya); Kedua ilmu (tanpa ilmu kita bisa salah jalan,
tersesat, atau melakukan perbuatan yang kontra produktif); Yang ketiga adalah keyakinan
bahwa kita bisa (dalam bahasa agama “iman”, agar kita selalu mempunyai tempat
bergantung dan menyandarkan segala yang kita lakukan kepada Tuhan); dan yang
keempat adalah komunikasi yang baik (termasuk komunikasi vertical melaui
doa/ibadah, dan komunikasi horizontal kepada sesama).
2.
Apapun di
dunia ini asalkan yang halal boleh kita cari (dengan cara halal pula), namun
setelah kita mendapatkannya, jangan lupa bahwa kita hanya diberi kenikmatan
dunia itu sekedar dan sementara sifatnya, karena tujuan hidup kita sebenarnya
bukan dunia yang sementara ini, tapi akhirat yang kekal abadi. Terserah kepada
kita sendiri, apakah kita mau menempuh jalan yang menyebabkan kita abadi di
sorga atau abadi di neraka.
3.
Kadang kala
kita salah jalan, mengabaikan jalan kebenaran yang diajarkan Tuhan, maka
cepat-cepat kembalilah ke jalan yang benar sebelum jalan itu disamarkan Tuhan akibat
perbuatan kita yang sudah menyimpang terlalu jauh dari kebenaran. Segeralah
kembali ke jalan Tuhan, selagi kita masih diberi nafas kehidupan. Untuk kembali
ke jalan Tuhan perlu tekad yang kuat, keyakinan yang lurus, ilmu tentang jalan
kebenaran, dan ibadah yang ikhlas. Alangkah menyesalnya orang yang tersesat dan
tidak sempat kembali ke jalan Tuhan hingga maut menjemputnya, maka tidak ada
lagi jalan untuk kembali ke dunia selama-lamanya.
Wallahu
a’lam.
"Si Bonek" yang habis meneropong kehidupannya sendiri |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.