Translate

Selasa, 16 Agustus 2011

Cara Menyatukan Umat Islam (Terkait Dengan Ibadah Puasa dan Hari Raya)


Sungguh saya merasa prihatin, selama berpuluh tahun umat islam yang berada pada satu Negara, bahkan daerah yang sama tidak bisa memulai ibadah puasa dan berhari raya pada waktu yang sama. Memang bicara soal ibadah, satu dengan yang lain berbeda tata cara. Misalnya awal waktu sholat yang waktunya dikaitkan dengan peredaran matahari, membawa kosekwensi bahwa awal waktu sholat di dua daerah yang berjauhan letaknya, misalnya Surabaya dan Jakarta berbeda, karena memang koordinat geografis kedua kota itu berbeda jauh.  Akan tetapi anehnya, perbedaan puasa dan hari raya itu bisa terjadi pada satu daerah yang sama.
Memang sekarang umat sudah semakin dewasa cara berpikirnya, sehingga kita tidak pernah melihat adanya pertengkaran atau pertikaian yang diakibatkan oleh perbedaan itu. Akan tetapi kedewasaan umat juga mempertanyakan, mengapa pada era teknologi seperti sekarang umat tak bisa dipersatukan hanya karena mereka berbeda metode dalam menentukan awal bulan qomariyah. Bukankah hilal/bulan sabit itu merupakan sesuatu yang riil dan eksak, bukan hal yang ghaib?
Bagaimana caranya mempersatukan umat Islam dan menghindarkan mereka dari dampak buruk akibat perbedaan saat dimulainya ibadah puasa dan hari raya? Menurut saya ada beberapa syarat kondisi yang harus dipenuhi:
1.  Umat islam tentu akan mengikuti pemimpinnya, karena itu agar umat bisa bersatu, para pemimpin harus bisa bersatu terlebih dahulu, Bagaimana jika di antara para pemimpin umat terjadi perbedaan pendapat? Solusinya adalah QS:4:59;
2.  Setiap akan memutuskan saat awal bulan, mereka harus mau mendengarkan tidak hanya pendapat ulama ahli hukum (fuqoha’) tapi juga mendengar pendapat para ilmuwan;
3.  Para ahli (termasuk para ilmuwan) harus bisa memetakan masalah yang menimbulkan perbedaaan di kalangan mereka kemudian mendiskusikan dan merumuskan masalah beserta solusinya;
4.  Solusi tersebut harus lebih mengutamakan kemaslahatan umat Islam dan mengesampingkan ego personal, kelompok maupun golongan.

Apa sebenarnya akar masalah yang harus didiskusikan? Menurut orang awam yang “terlalu berani” menuliskan pendapat dan pandangannya ini, akar masalahnya ada dua saja, yang apabila para ahli bisa menyepakatinya, insya Allah persatuan umat yang diidam-idamkan pasti bisa terwujud;
1.    Kriteria hilal
Apakah kriteria hilal yang dikehendaki oleh syariat Islam?  Sepengetahuan penulis ada beberapa perbedaan di kalangan ahli hisab/rukyat mengenai hilal ini, yaitu
a.    Hilal (bulan sabit) itu adalah hilal yang harus bisa dilihat dengan mata telanjang, karena Rasul s.a.w telah mengajarkan cara yang paling mudah bagi umat yang “ummiy” (buta huruf) saat itu, dan akan terus bisa dipraktekkan terus menerus hingga akhir zaman, yaitu dengan melihat hilal pada saat matahari terbenam pada akhir bulan (tanggal 29 Sya’ban dan 29 Ramadhan).  Apabila umat tidak berhasil melihat hilal, maka bilangan bulan digenapkan menjadi 30 hari.
b.    Hilal tersebut adalah hilal yang dapat dilihat dengan mata atau alat optik (teropong, binokular, pencitra digital,dll.). Pendapat ini masih kelanjutan dari pendapat pertama di atas dengan menerima kondisi kekinian dimana peralatan teknologi sudah demikian majunya sehingga dalam kondisi hilal sulit dilihat dengan mata telanjang, masih bisa dibantu dengan peralatan teknologi. Permasalahan berikutnya tinggal menyepakati berapa ketinggian minimalnya di atas ufuk agar bisa dilihat? Menentukan berapa ketinggian hilal yang mungkin dilihat dengan mata tersebut harus benar-benar merupakan hasil observasi berulang-ulang yang dilakukan oleh para ahli, bukan merupakan hasil laporan perukyat awam yang tiba-tiba menjadi “superman” yang mempunyai daya lihat luar biasa walaupun dimustahilkan oleh kalangan ilmuwan. 
c.    Hilal itu tidak harus dilihat dengan mata tetapi cukup diyakini (berdasarkan perhitungan yang akurat) telah sah “menampakkan” keberadaannya di atas ufuk.  Zaman telah berubah, kecanggihan peralatan teknologi juga dibarengi dengan kemampuan menghitung secara detail (komputasi) pergerakan benda-benda langit, termasuk bulan dan matahari.  Data-data pergerakan benda-benda langit tersebut (hingga mencapai ketelitian per detik dari setiap gerakan benda langit) telah diujicoba (observasi) selama ratusan tahun dan terus menerus disempurnakan, sehingga kemungkinan kesalahannya telah diminimalkan. Pendapat ini meyakini, bahwa eksistensi hilal di atas ufuk telah dapat diperhitungkan secara akurat, sehingga rukyat (melihat ) hilal hanya dilakukan semata-mata untuk mencocokkan hasil komputasi. Mereka memahami perintah Rasul untuk merukyat adalah perintah sebuah cara untuk bisa sampai kepada keyakinan telah masuknya awal bulan untuk memulai ibadah puasa, dan di masa sekarang ini orang dapat yakin dengan ilmu yang dimiliki para ahli hisab, sebagaimana orang yakin kebenaraan waktu-waktu shalat hanya dengan melihat jam tangannya.
2.    Metode hisab
Sebenarnya metode hisab yang sebagai ilmu terus berkembang ke arah yang lebih akurat dan pasti. Dan saya yakin para ahli bisa bersikap sebagai ilmuwan yang harus bersikap kritis dan obyektif dalam menganalisa data, sehingga mereka bisa menilai dan menentukan metode hisab manakah yang paling akurat untuk dipakai. Tentu saja metode tersebut harus sudah teruji data dan hasil perhitungannya berulangkali, sehingga telah menjadi fakta empiris yang amat akurat.
Kalau motivasi pengujian metode hisab tersebut adalah untuk mencari kebenaran, tentunya kita harus berusaha secara maksimal untuk menilai metode mana yang paling akurat (paling mendekati kebenaran, mengingat tidak ada metode yang benar-benar sempurna). Tidak selayaknya membatasi potensi diri kita dengan mengatakan, bahwa “urusan ibadah yang penting adalah zhan (dugaan kuat) bahwa ibadah yang kita lakukan telah benar, maka itu sudah cukup”. Misalnya, apabila kita menduga kuat bahwa kita telah sholat dengan menghadap arah kiblat yang benar maka ibadah yang kita lakukan telah sah dan tidak perlu mengulangi sholat, sekalipun ternyata salah arah”. Itu pelajaran fikih yang kita dapatkan. Pertanyaannya adalah apabila orang lain bisa menunjukkan bahwa arah sholat yang sebenarnya ke arah lain, apakah kita akan mempertahankan kesalahan kita atau akan membetulkan arah sholat kita yang selanjutnya? Orang awam yang jujur dapat menjawab pertanyaan ini dengan mudah, yaitu tentu akan mengikuti arah yang sebenarnya, apalagi para ahli.
Begitu pula apabila para ahli telah menguji ilmu hisab yang mana yang paling akurat, maka seharusnya kita bisa mengikuti dan meninggalkan metode hisab yang selama ini kita pakai yang telah terbukti tidak akurat. Kita mestinya tidak perlu fanatik terhadap metode hisab tertentu hanya karena metode itu dirumuskan oleh ulama dan menolak mentah-mentah data dan metode hisab tertentu misalnya karena kebetulan dirumuskan oleh orang Barat yang notabene non muslim. Kita harus merubah mindset kita dengan meyakini, bahwa semua ilmu pada hakekatnya berasal dari Allah al-’Alim, hanya saja ilmu itu diamanatkan terlebih dahulu kepada non muslim tadi karena ia lebih mengetahui hukum-hukum Allah yang terdapat pada alam (sunnatullah).

Saya yakin apabila pemerintah mau mendudukkan para ahli falak/hisab dari berbagai ormas Islam bersama para astronom dalam satu forum serta memfasilitasi mereka untuk mengadakan berbagai kegiatan komputasi dan observasi bersama dengan jadual kegiatan dan target yang terukur (tidak hanya menjelang Ramadhan dan Syawal saja), dan umat Islam secara umum telah mengetahui kegiatan tersebut mau taat kepada keputusan pemerintah sebagai ulul amri (sesuai dengan QS:4:59), maka insya Allah persatuan umat yang diidam-idamkan (bukan cuma umat Islam Indonesia saja, tapi dunia) akan tercapai.  (Wachyu)

3 komentar:

  1. bagus sekali pak uraianya, secara jujur kayaknya uraianya lebih sejuk dari pada tak tomas, hanya untuk point kreteria hilal pada huruf (a) kayaknya kurang lengkap bila mau mengutip sabda nabi, yaitu genapkanlah bila tidak melihat hilal,nabi sudah jauh mengantisipasi dengan hadis yang lain, dan ini yang bapak tidak perhitungkan yaitu " fakdurulah" kalimat ini adalah solusi untuk mengantisipasi kerusakan kalender hijriyah, bila dengan mudahnya bila tanggal 29 tidak melihat hilal maka genapkan, wah kalau begini maka kalnder akan rusak karena kebanyakan tanggal 29 itu sulit setengah hidup hilal bisa dilihat,dan bahkan menurut penelitian saya satu tahun kira-kira hanya ada 2 bulan aja, ini pak kayaknya yg menjadi catatan saya, mohon maaf n terima kasih

    BalasHapus
  2. sulit untuk mengisi komentar, karena susah masuk.....

    BalasHapus
  3. @Anonim (Ali Hamdi):Mengenai dalil itu pemahaman saya, "faqduruu lahu" pengertiannya harus di bawa kepada hadits lain yang senada sehingga bisa saling menjelaskan satu sama lain, yaitu hadits populer "fa akmiluu iddata tsalasina yauman", bukan dibawa kepada pengertian hisab, karena umat saat itu belum tahu hisab."Nahnu ummatun ummiyun, la naktubu wala nahsubu..." Dan para fuqaha' sepakat menggunakan hadits "shumu lirukyatihi...." itu hanya terbatas 3 bulan saja, lainnya mereka sepakat atau paling tidak, tidak masalah bila pakai hisab. Tks.komen & infonya.

    BalasHapus

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.